Senin, 11 April 2011
WATU BUCU DAN MUSIM KAWIN: Kisah Desakralisasi Makna
Mangir bukan merujuk pada sejenis tumbuhan yang sering dipakai iming-iming pemutih kulit punya kaum penebar hiperealitas yang sering kau lihat meski orang-orangku tidak selegam nasibnya karena lebih banyak yang ranum bak kembang desa dan kemudian jadi menor, kisut dan gendut minta ampun setelah dinikah anak kepala desa, entah siri atau dimadu tak jauh beda. Nama Mangir diambil dari Mbah Kyai Mangir yang waktu aku kecil masih kulihat watu bucu sebagai personifikasi kebesaran namanya. Sekarang tempatnya digantikan sebuah mushola kecil. Mushola itu akhir-akhir ini makin cantik dan ramai saja semenjak datang seorang dokter yang kesohor dan membuka praktek di kampungku, untukku ini membahagiakan. Sang dokter sesekali berkunjung tetapi lebih sering disambangi rumahnya, kabarnya penyambang matur dokter agar bangunan pengganti watu bucu syirik itu lebih banyak lagi disumbangi, kebanyakan berhasil. Apa ini salah satu alasannya kenapa manusia berjas putih itu lebih suka bersaing pamor di kota yang glamour, aku tidak tahu.
Waktu kecil aku punya banyak teman main yang rajin shalat lima waktu dan mengajakku ikut puasa meski aku hanya menyanggupi ikut sahur saja kemudian tidur lagi, ada juga kawan kecilku yang rajin nyolong aggur putih jualan warung bapaknya setiap kali cinta monyetnya benar-benar membuat dia berasa dianggap sebagai perimata itu. Kami senang-senang saja bergabung dengan orang-orang tua lelaki dan menjemput ingkung ayam dari kuburan yang mereka bawa pulang lagi setelah sadranan usai dan padi selesai dituai. Berebut recehan dan sebatang rokok dari sajenan yang ditempatkan di pojok-pojok tempat keramat sebelum acara mantu digelar adalah agenda rutin kami. Pun waktu mengiring orang mati ke kubur, kami anak-anak kecil menggiring di depan karena penabur kembang beserta uang receh berada paling depan, tidak ada yang melarang karena kau anak sekolah minggu atau karena kau murid TPA (kata ibuku singkatan dari Taman Pendidikan Al Quran).
Namun kini kedaannya sudah berbeda - aku tidak mau menyebutnya ‘sangat berbeda’ karena terkesan hiperbolis disamping tulisan ini jelas sama sekali tidak romantis. Kau tahu mazhab apa yang sekarang merajalela di daerahku? Ini dia:
“Kalau kau pria dan jakunmu mulai seperti ayam jantan aduan maka kau harus kemana-mana dengan sepeda motor tanpa spion, tanpa helm, knalpotmu harus berisik, dan tentu saja harus bisa sedikit jumping seperti rossi gadungan. Kalau kau perempuan yang mulai menstruasi dan buah dadamu sebesar bola bekel, maka kau harus ke salon paling baru yang karyawatinya paling sering diapeli pegawai rendahan di kantor bupati, lalu rebonding bagi yang keriting dan smoothing bagi yang non keriting, aturan ini berlaku ketat entah wajahmu tirus, oval, atau mencong ke samping, entah kulitmu geseng atau kuning. Dan tentu saja, kalian pria atau perempuan harus punya account facebook dan hape qwerty (buatan china boleh, karena belum banyak yang punya bb selain anak dokter tadi, beberapa anak juragan bahan bangunan dan pemilik usaha penggilingan padi.”
Sekarang-sekarang ini kalau kau tahu, di daerahku adalah musim kawin. Pada musim ini kau akan kesulitan bahkan hanya untuk menemui seorang tukang pijet yang biasanya sepi karena orang lebih suka minum obat yang ditawarkan televisi, jadi bayangkan kalau pada musim ini kau sakit dan membutuhkan segera dokter yang masih jarang di kampungku, alamat hanya bisa mengutuki sakit yang tak tahu adat, tapi hal ini tidak berlaku bagi peminta sumbangan tadi karena dia sudah berpengalaman tentang petung jawa meskipun sekarang malu-malu menggunakannya. Aku tidak tahu mengapa banyak orang sekarang malu menyebut Mbah Kyai Mangir, watu bucu, ato sesajen lagi, bahkan pada musim kawin seperti sekarang ini.
Aku tidak tahu persisnya apa karena aku hanya mampu sedikit membaca tanda. Aku membaca makin banyak tetanggaku memelihara jenggotnya dan celana panjangnya seperti kekecilan, teman-teman sekolah mingguku yang dulu memilih nangis bawang kalau disuruh maju berdoa sekarang lebih suka loncat-loncat di toko roti lantai dua yang disulap menjadi tempat ibadah karena Kidung Pasamuwan Kristen tidak termasuk kategori barang yang dijulukinya ‘gaul’. Sesrawungan kini dikeluarkan dari kosakata bahasa ibu, meskipun hanya sekedar mengobrol kosong di teras rumah Pak RT tentang sawah, tetangga yang kabarnya kumpul kebo, anak-anak yang merantau ke Jakarta sebagai karyawan pabrik boneka barbie, atau iseng-iseng bermain remi di prapatan dengan sedikit penerangan lampu yang setrumnya nyolong PLN, semuanya itu sekarang tidak lebih menarik daripada sinetron di televisi. Aku ingat dulu pernah ada pentas agustusan dengan menggelar panggung hiburan yang diisi nyanyi, tari, atau drama kisah percintaan yang diselingi banyolan , manggungnya di samping watu bucu, tetapi itu waktu aku SD, dulu.
Tentang musim kawin di tanah kelahiranku sejarahnya sudah setua watu bucu, tapi kau tidak akan menemuinya di buku. Karena sepanjang apapun jenggotmu, sesering apapun kau rebonding, atau segaul apapun motormu karena menjiplak modifikasi dari tabloid otomotif terbaru, musim kawin tidak kehilangan pamornya. Lalu kenapa bulan-bulan ini aku sebut musim kawin? Untukku alasannya sederhana karena mungkin aku belum mendapatkan kedalamannya, tetapi setahuku musim kawin berlangsung karena padi telah dikarungi dan semuanya baik dalam petungan sasi. Untukku ini bukan sekedar klenik yang syirik, aku lebih senang melihatnya sebagai cara lelaki-lelaki tua jawa untuk menyesuaikan kelanjutan jalan hidup anak cucunya setelah mendapat keberkahan dari rahim Ibunda Bumi, setelah mengantongi restu Kanjeng Ratu Dewi Sri, dan tentu saja setelah lumbungnya penuh terisi dan asam lambung anak istri dijamin tak naik lagi. Kalau sudah begini, siapapun harus tahu, “sekarang berpesta esok makin papa” bukanlah bagian dari sejarah nenek moyangku, paling tidak terlalu naif bahkan hanya untuk sekedar ditiru.
Meskipun sekarang watu bucu tak berbentuk lagi dan sejumput kemenyan beserta ubo rampenya dalam besek-besek kecil sesaji mulai dilirik dengan pandangan benci, musim kawin tetaplah musim kawin, restu bumi tetap wigati dalam setiap tubuh mereka, manusia-manusia pembajak sawah dan pembendung kali. Musim kawin bukanlah dan semoga tidak akan pernah menjadi monopoli kaum berjubah apapun warnanya, yang entah mengapa melupakan karung goni saat nenek moyangnya dikerubung kompeni maupun si kecil kejam dari negeri matahari. Untukku, oknum dalam kaum itu pantas disingkirkan atau ancam saja buang ke laut, karena tanpa jubah dan kegemarannya menebar rasa bersalah, nyali mereka sejatinya ciut. Kalau aku boleh ikut serta membuang mereka ke laut, aku akan melakukannya dengan senang hati, meskipun laut tak akan senang, karena laut biasanya mendapat sesuatu yang terpilih dengan berlebih, tapi setidaknya laut setuju kaumku manut untuk menggelar musim kawin dengan patut, sejak dulu tanah dan laut saling belajar saling berguru, dan biarlah tetap begitu..
Senin, 23 Agustus 2010
BULAN BUNDAR ITU
Mewajahlah keceriaan kecil masa lalu
Tanpa malu anak manusia tertawa, berkejaran, dan mencipta deru
Lalu bersembunyi di belakang punggung lebar ibu, yang lalu membelai ikal rambutmu
Bulan bundar itu,
Membisikkan kepada kita mimpi-mimpi dalam waktu batu
“impian adalah jiwaku”, bisik sang bulan merdu, aku mulai tahu
Dari itu, kaki-kaki kecil kitapun mencoba menapakinya, meski ragu meski penuh liku
Bulan bundar itu,
Adalah saksi yang tak bisu, menuntun malam kelam menjadi pemakna laku
Penuh kegairahan kita belajar mencinta, menari, dan menjelajahi waktu
Meresapi kegembiraan yang seringkali bertautan dengan senyum haru
Bulan bundar itu,
Terus tersenyum pada kita, setiap peziarah, tanpa ragu
Pernah satu kali masa ini, aku berbisik padanya,”aku kosong, aku letih, rindu menjadi anak kecil, seperti masa itu”
Namun bisiknya tak lagi kudengar, “aku tidak sedang meminta senyumanmu!”
Bulan bundar itu,
Mungkin kini tak banyak lagi anak manusia yang memuja hadirmu
Listrik sialan dan televisi penjual hiperealitas kaum kapitalis itu kini menjadi ratu kaumku
Tawa anak-anak bukan lagi dalam kejar-engah di bawah bayangmu, kau hanya bisa menjumpai mereka dalam dinding dingin dan layar beku
Aku tahu, kau pasti melarangku membenci kaumku, “sudah terlanjur!” umpatku
Bulan bundar itu,
Malam ini aku melihatmu lagi, begitu kecil kini, namun tetap ayu
Terimakasihku untukmu, untuk mimpi dalam letupan hidupku
Saat aku merasa tak berpunya, tak berdaya, aku tahu, aku memilikimu,
Senyummu dan mimpi-mimpi itu, sudah cukup untukku..
Jogjakarta, 26 April 2010
19. 27
Senin, 19 April 2010
“KITAKAH PENGHUNI RUMAH ITU? (Sebuah Tutur Ekumenis)
Seperti kukatakan tadi, rumah itu cukup besar, dari pintu rumah yang tidak sempurna tertutup, sayup-sayup terdengar suara penghuninya, beberapa bernyanyi yang lain bertutur diselingi gelak tawa, berdengung suara piring beradu garpu dan pisau daging, semarak, beberapa panji tampak sedang dipasang, tampaknya ada pesta, masakan pesta setiap hari, tak tahulah, kita amati saja.
Mungkin bukan sebuah pesta, tetapi aku menemukan selembar kertas kumal yang bertuliskan, “Menu ekumenis bulan ini,” di dalamnya terdapat pilihan menu:
Tarian Kemiskinan India
Drama Feminisme Korea
Film Heroisme Pasukan Perang Hollywood
Dongeng Romantisme Masa Kecil
Tarian Pemanis Daerah
Yang menarik, dalam setiap sudut kertas tersebut diberi label bendera dengan tulisan oikumene.. hmm, apa maksudnya ini?
Ketika mereka tengah berpesta, dari luar terdengar seperti suara gelegar, riuh dan penuh dengan gaduh, ada apa ini? rupanya ada peringatan 100 hari wafatnya Gus Dur, orang-orang dari segala penjuru berjalan damai dan tak berniat berjalan mundur. Juga ada ribut-ribut soal mbah Priok, lalu Susno yang kabarnya ditahan lagi tanpa gembar-gembor media. Mula-mula penghuni rumah itu menghentikan pestanya lalu mengintip hati-hati, melihat suasana dari dalam, ketakutan, lalu menutup erat-erat dan mengunci pintu, dan melanjutkan pesta.
Diam-diam penghuni tersebut telah mengidap semacam amnesia sejarah yang parah, seolah-olah kita hidup dalam sebuah rumah rindang di musim kering berkepanjangan. Penyejuk ruangannya panji-panji kita sendiri, tegak angkuh berdiri di sebelah tumpukan kardus berdebu dan bertali pati yang berisi spanduk-spanduk kusam bertuliskan “demi bhineka tunggal ika, hentikan kekerasan atas nama agama”, yang entah kenapa, batal terpasang di halaman rumah kita, mungkin waktu itu bambu habis terpakai, panji kita begitu banyak.
Panji-panji kita begitu memukau, menari genit elok gemulai, mencandu, membuat kita tak berhenti mendongak dengan mulut menganga menyanjung warna-warninya yang memeriahkan seisi rumah kita. Kita lupa, lupa sudah pagi, lupa membuka jendela, jendela yang menghantarkan kita pada realita. Bahkan, jikapun ternyata diputuskan tarian genit elok gemulai harus dihentikan, termasuk tarian panji-panji kita, mungkin tetangga sebelah akan bersuara “tak setuju”, atau bahkan “mengancam pindah.” Tetapi untuk apa digubris! Karena kita akan segera saling berbisik, “ah, tak mengapa, toh kita tinggal menutup jendela saja..!”
Senin, 18 Mei 2009
Sebagai mahasiswa, sarana transportasi yang lazim digunakan juga adalah sepeda motor , baik itu untuk urusan kampus ataupun urusan kongkow-kongkow bersama teman (saya sendiri sampai sekarang enjoy dengn jalan kaki dan naik kendaraan umum kalau jauh, kalau dulu masih banyak sepeda onthel-dikampus saya Duta Wacana masih ada beberapa yang setia memakai sepeda onthel, khususnya temen-temen fakultas teologi, salut sobb!). Walaupun motor mendominasi, tetapi jalanan masih relatif tertib, tidak banyak klakson tanda tidak sabaran dibunyikan setelah lampu hijau menyala-kalaupun ada bunyinya kecil dan pendek saja-bukan klakson memanjang yang menandakan kekesalan berlama-lama di lampu merah, pemakai jalan yang lain khususnya pejalan kaki yang hendak menyeberang atau pengendara onthel juga dihormati-ditunggu dengan sabar supaya lewat duluan, atau kalaupun menyalib dilakukan dengan sopan-bukan dengan memotong jalan.
Itu dulu, 4 tahun yang lalu. Sekarang??
Coba lihat jalanan kota sekitar Jogja dan amati bagaimana perilaku berkendara warga Jogja saat ini. Mungkin dan saya yakin anda akan sependapat dengan saya (atau mungkin anda salah satunya?), bahwa cerminan sikap santun dan menghargai 'liyan' yang ditunjukkan ketika berkendara dari masyarakat Jogja telah luntur, tidak lagi tercermin.
Lihat saja bagaimana perilaku warga yang berkendara ketika berada dilampu merah. Garis batas lampu merah dan area menyeberang sudah dirampas dengan pengendara motor yang berjejal dan tidak sabar ingin segera menggeber kendaraannya , tidak peduli apakah ada sesama pengguna jalan-penyeberang jalan yang juga ingin memakai fasilitas jalan-walaupun hanya sekedar menyeberang (mungkin kebanyakan nonton moto gp atau balap motor lokal dan berniat mempraktekkannya dijalan raya, sinting!!).
Bukan cuma itu, ketika lampu merah berganti hijau, kendaraan yang berada dibelakang dengan tidak sabaran membunyikan klaksonnya, berharap dengan klakson yang dibunyikan keras-keras situasi teratur dan lancar langsung 'sim salabim' dapat tercipta! Tidak hanya itu' kalau kita perhatikan' pengendara motor yang ugal-ugalanpun di Jogja kian banyak bertambah, dan menjadi sok jago jalanan (dasar amatiran!!)
Saya kesal, dan memang banyak pelakunya adalah pengguna motor, karena memang mayoritas pengguna jalan di Jogja adalah pengendara motor (walaupun tidak menutup kmungkinan pengguna mobil, namun porsi ugal-ugalannya masih relatif sangat kecil-paling tidak menurut saya). Melihat Jogja dan cermin berkendaranya kini, mengingatkan saya kepada Jakarta yang memang dari dulu perilaku pemakai jalannya sudah parah, egois, dan tidak sabaran, tapi haruskah kita menjadi seperti Jakarta? Haruskah kita menciptakan iklim berkendara yang egois, beringas, dan seenaknya? dan nyamankah kita, tatkala menemui hampir ditiap jalan masuk kompleks atau jalan kampung di Jogja, ditiap jarak 200 meternya-dan sangat mungkin akan terus bertambah-terpasang polisi tidur yang menghambat perjalanan kita, hanya karena perilaku berkendara kita yang tak manusiawi? Kalau kita mengaku orang beradab mestinya mengatakan tidak, kalau kita merasa kita masyarakat dewasa harusnya berperilaku santun, sopan, dan menghormati pengguna jalan yang lain. Kalau kita mengaku mencintai Jogja, seharusnya kita menciptakan situasi nyaman termasuk saat berkendara.
Pertanyaannya adalah, kemana harmoni berkendara yang santun di Jogja itu? Hilang tergerus jaman? kita kalah dengan arus jaman? mungkin hati kecil kita berkata 'masih ada, tapi diabaikan'...
Senin, 19 Januari 2009

OLEH-OLEH DARI RETREAT PMTA GKI JABAR UKDW & STTJ
Part I : Menjadi Insan Efektif
Setelah liburan tahun baru 2009, tanggal 8-10 Januari 2009 Persekutuan Mahasiswa Teologi Asal GKI Jabar di UKDW dan STT Jakarta ngumpul bareng untuk mengadakan retreat. Retreat tersebut difasilitasi oleh Badan Bina Pendeta (BBP) GKI Jabar dan bertempat di Wisma Binawarga, Cipayung, Puncak, Jawa Barat. Bahagia rasanya bisa bertemu kembali terutama dengan teman-teman STTJ, pertemuan terakhir kami terjadi pada tahun 2006 saat Konven Mahasiswa Teologi GKI di Eagle Hill, Mega Mendung, Bogor, Jawa Barat. Kebahagiaan juga melingkupi saya tatkala dapat saling mengenal dan mencoba mengakrabkan diri dengan teman-teman dari STTJ di luar angkatan 2005, mulai dari angkatan 2003 yang sedang bergumul dengan skripsinya hingga angkatan 2008 yang masih fresh. Bersama kami hadir Pdt. Sthira, Pdt. Robby Chandra, dan Pdt. Kuntadi. Pdt. Sthira mengorganisir jalannya retreat dari kami tiba di BW hingga kami pulang. Pdt. Robby Chandra dan Pdt. Kuntadi membekali kami melalui beberapa pembinaan interaktif yang dibawakan dengan menarik.
Pak Robby mengajak kami agar mampu menjadi insan yang efektif. Topik dibawakan dengan komunikasi yang menarik, jelas, dan bernas ala Pak Robby. Kita diajak untuk kembail menyadari bahwa seringkali, disadari atau tidak, kita memiliki dampak bagi orang lain, baik melalui kata-kata, sikap, keputusan, dan life style. Dampak tersebut bisa negatif juga positif. Untuk saya, topik ini menarik. Saya merasa diingatkan kembali bahwa apapun yang kita lakukan akan membawa dampak bagi orang lain, bagi teman, sahabat, saudara, dan orang-orang disekitar kita. Saat berefleksi saya mendapati beberapa habit saya yang negatif, seperti misalnya, saya senang bercanda dengan teman dekat sampai kadang tanpa disadari bercandaan saya kelewatan dan membuat teman tersinggung. Dengan pengenalan yang baik akan sikap-sikap dan sifat-sifat diri, saya diajak untuk semakin menghilangkan dampak negatif diri dan terus memunculkan dampak positif diri, untuk terus menjadi insan yang efektif yang dapat memberikan dampak positif melalui kehidupan pribadi saya, melalui hidup dalam keluarga saya, dan melalui hidup dalam komunitas saya. Seperti apa yang pernah saya dengar dari seorang teman: Setiap hal yang kita lakukan dan yakini di hari ini akan turut mencerminkan siapa diri kita esok hari. Semoga....
Jumat, 05 Desember 2008
AKU mendengar sesuatu. Denting shamisenkah itu? Hmm, begitu cantik. Siapa yang memainkan? Pasti dia juga cantik. Langkah kakiku makin bersemangat menuju ke arah kaki bukit. Denting shamisen di pagi buta itu telah menghipnotisku.
Dulu aku pernah mendengar denting shamisen yang cantik. Tapi bukan di tempat ini. Aku mendengarnya di Kyoto. Gadis cantik di sebelah apartemenku yang memainkannya. Namanya Kiyoko. Ah, Kiyoko. Aku sudah terlanjur menjadikannya bagian dari masa laluku. Kami pernah menjalin hubungan, meski tak berumur lama. Aku memutuskan hubungan kami ketika tiba saatnya aku harus meninggalkan Kyoto, setelah studiku selesai.
Kini, aku kembali mendengar denting yang serupa. Aku berani memastikan, yang memainkan shamisen ini pasti cantik, sebab Kiyoko cantik. Meski Kiyoko pernah mengatakan padaku bahwa tak ada hubungan antara denting shamisen dengan kecantikan pemetiknya, aku sudah terlanjur yakin, jika yang memetik shamisen adalah perempuan cantik maka denting shamisen yang dihasilkan juga cantik.
Mulanya, denting yang kudengar kali ini malu-malu, hanya sayup-sayup saja, seperti petikan-petikan yang berasal dari mimpi. Tapi kini, ia begitu bening, mengalun lembut, membuai-buai, menyusup menembus kabut yang mengapung, bergulung-gulung dalam hembusan angin, menghantam dinding bukit, terpelanting hingga ke lembah.
Huhh….. hanya tangan putih gemulai dengan jari-jari lentik, yang bisa menghasilkan petikan secantik itu. Aku mempercepat langkah. Kabut di depanku berhamburan perlahan untuk kemudian lenyap seperti ada tangan raksasa yang menyibaknya, memberi restu jalanku kepada si pemetik shamisen.
Pagi belum sempurna sebenarnya. Matahari masih malu-malu di ufuk timur. Aku terus berjalan dengan tas ransel di pundak yang dipenuhi dengan peralatan fotografi. Denting-denting itu semakin jelas, seperti sengaja diperdengarkan khusus untukku supaya segera mendatangi si pemetiknya.
Kesenyapan kaki bukit yang dihiasi kecantikan denting shamisen itu tiba-tiba terganggu oleh deru iringan truk bermuatan penuh manusia yang dengan susah payah berjuang mendaki di jalan yang menanjak. Truk-truk itu kemudian menyalipku. Setelah berbelok pada jalan yang menikung di depan sana, truk-truk itu berhenti. Dari atasnya para gadis pemetik teh yang berasal dari lembah, berloncatan keluar. Mereka semua mengenakan caping bambu yang lebar di kepala dan sepatu karet tinggi di kaki serta keranjang bambu di pundak. Tanpa buang banyak waktu, mereka bergegas menuju ke kebun teh untuk segera memetik pucuk-pucuk dedaunan di sana.
Matahari sudah muncul sempurna. Semakin dekat saja denting shamisen itu. Aku bergegas, tak sabar bertemu dengan pemetiknya, khawatir kalau-kalau ia tiba-tiba berhenti dan aku pun kehilangan jejak. Jalan mendaki yang kulewati kini, lurus membentang. Di depan mataku, persis di kaki bukit, kulihat ada sebuah vila besar bergaya Renaisans, yang seolah-olah mendadak muncul dari balik kabut. Denting shamisen terdengar jelas dari arah vila itu, aku jadi tak ragu mengarah ke sana.
Tiba di depan vila itu, tak ada tanda-tanda kehidupan yang terlihat. Hanya denting shamisen yang membuatku yakin kalau vila itu dihuni. Aku memencet bel di depan pagar besi yang berdiri kokoh dengan ujung-ujung seperti tombak menghujam langit. Denting shamisen berhenti. Dari jalan kecil di samping vila itu muncul seorang perempuan berbusana tidur panjang. Dari jauh, ia sudah tersenyum ramah menyambutku. Di balik pagar, ia langsung menyapa, “Ada yang bisa saya bantu?”
“Ya. Dari tadi, saya mendengar petikan shamisen yang indah di sekitar sini. Saya ingin berkenalan dengan pemainnya. Apa benar berasal dari vila ini?” Ia tak segera menjawabku. Sebentar, ia memandang mataku. Mungkin, setelah yakin kalau aku orang baik-baik, ia akhirnya mengiyakan apa yang kutanyakan.
“Jadi, Anda pemetik shamisen itu?” tanyaku lagi setelah ia membukakan pintu pagar, mempersilahkan aku masuk.
“Ya…” jawabnya pelan dengan desahan.
Sekali lagi, apa yang menjadi keyakinanku bahwa denting shamisen yang cantik hanya bisa dihasilkan oleh pemetik yang cantik, mendapatkan pembenaran kali ini. Perempuan ini cantik, meski tak lagi masuk dalam kategori gadis muda. Perempuan itu mengajakku melintasi jalan kecil di samping vila untuk menuju ke taman belakang.
Taman itu adalah taman yang ditata sedemikian rupa, dimana tanaman-tanaman pangkasnya yang hijau seluruh, dibiarkan tumbuh setinggi tubuh orang dewasa, membentengi jalan kecil yang melingkar-lingkar yang tak kuketahui dimana ujungnya. Di bagian tengah taman itu ada sebuah ranjang spring bed yang besar dengan naungan fiberglass permanen yang terpasang di atasnya. Di atas ranjang itu terbaring sebuah shamisen. Perempuan itu duduk di tepi ranjang sementara aku duduk di hadapannya, pada bangku batu. Untuk memecahkan suasana asing aku kemudian memperkenalkan diri kepadanya. Kukatakan bahwa namaku Nino, fotografer dari sebuah majalah fotografi di Jakarta dan aku datang ke daerah Puncak ini untuk mengambil foto aktifitas pemetikan teh yang ada di kebun teh.
“Jadi, Anda wartawan?” Ia menanyaiku dengan ekspresi penuh kecurigaan sambil menuangkan teh dari teko ke gelas kecil yang kemudian ia sodorkan kepadaku. Sempat kuperhatikan tangannya. Sekali lagi aku benar. Tangan itu adalah tangan putih gemulai dengan jari-jari lentik penghasil petikan yang cantik.
“Bukan, saya hanya fotografer. Saya bukan wartawan.” Mendengar itu, ia tersenyum lantas mulai bercerita kepadaku bahwa ia takut bertemu dengan wartawan. Ketika kutanya mengapa, ia bilang dirinya merupakan bagian dari rahasia seseorang yang mempunyai kedudukan politis yang penting di negeri ini. “Dia anggota dewan”. Katanya lagi, jika sampai ada wartawan yang mendatanginya dan kemudian mengendus rahasia ini, maka tamatlah karir yang dimiliki kekasihnya itu. Tanpa malu-malu ia memberikan pengakuan yang lebih jauh lagi kepadaku bahwa dia berstatus kekasih simpanan.
“Sudah tiga bulan ia tidak menandatangiku. Ia sibuk melawat ke luar negeri.”
Aku hanya mengangguk tak begitu peduli dengan pengakuan yang disodorkan oleh perempuan itu. Ia kembali duduk di ranjang. Ia ambil shamisennya untuk kemudian ia petik, mengiringi acara minum teh kami. Dalam iringan shamisen ia kembali bercerita, “Sebenarnya, aku tidak pernah mengira hidupku seperti ini. Tinggal di vila besar, penuh dengan kemewahan, tapi dibiarkan sendirian, bahkan tanpa pembantu” Ia melanjutkan bahwa kekasihnya meminta ia tetap tinggal di dalam vila itu seorang diri agar perselingkuhan sang kekasih tidak diketahui oleh keluarganya dan media. Jadilah ia kini sebagai perempuan yang selalu menunggu.
“Akhir-akhir ini aku mulai menyadari bahwa harta yang memang menjadi motivasi awalku untuk menjalin hubungan dengan kekasihku itu, tak bisa menghasilkan kebahagiaan sebagaimana yang kukira. Dan, ia tidak pernah menyadari bahwa aku juga membutuhkan perhatian dan kejelasan status.” Ia berhenti memetik shamisen untuk menyeruput tehnya. Ia kembali bercerita sambil memetik shamisen setelah cangkir di tangannya tandas.
“Sampai sekarang ini, ia tidak berhenti membanjiriku dengan uang dan hadiah. Padahal, aku tak begitu butuh semua itu. Aku menginginkan dirinya. Aku ingin dia segera menikahiku. Jika aku mengatakan itu padanya, ia tak pernah menanggapinya dengan serius.” Ia berhenti memetik shamisennya, membaringkannya.
“Shamisen ini ia beli di Kyoto dua tahun yang lalu waktu ia ikut lawatan ke Jepang. Ini adalah jenis shamisen yang langka. Harganya mahal. Hanya ini pemberiannya yang kusuka. Shamisen dari Kyoto..”
Kyoto? Aku jadi teringat dengan Kiyoko. Jangan-jangan itu shamisen milik Kiyoko. Kiyoko menjualnya setelah aku meninggalkannya. Mungkinkah itu? Ah, pikiranku terlalu jauh.
Aku mendekat, mengambil shamisen itu setelah ia menyodorkannya kepadaku. Kuperhatikan, memang ini adalah shamisen jenis yang langka, sudah jarang ada di pasaran. Tiga dawainya terbuat dari benang sutera. Bagian kepalanya tertutup kulit yang berasal dari kulit kucing. “Ya. Ini memang shamisen yang langka.” Aku kembali memberikan shamisen itu kepadanya dan ia mulai lagi memetiknya. Aku kembali duduk, mengambil cangkir tehku, menghirupnya sedikit demi sedikit sambil terus menikmati denting yang cantik dari shamisen itu.
Ia terus bercerita bahwa dulunya ia sempat kuliah di sekolah seni selama enam semester. Ia mengambil jurusan alat musik tradisional. Selama dua semester itulah ia sempat belajar memetik shamisen. Namun kemudian, ia memutuskan untuk berhenti kuliah setelah berkenalan dengan kekasih yang menawarkan kehidupan yang penuh dengan janji kebahagiaan itu. Meski orang tuanya menentang keputusan itu, ia tidak peduli. Malahan ia melangkah lebih jauh lagi. Ia menerima saja untuk dijadikan sebagai kekasih simpanan lelaki yang sudah beristri itu. Orang tuanya menjadi semakin murka mendengar kabar tersebut hingga kemudian membuat mereka tak lagi menganggapnya sebagai anak.
“Akhir-akhir ini, aku kangen pada mereka semua. Aku kangen ibu, ayah dan adik-adikku.” Dari air matanya yang menitik, aku tahu ia sudah lama merasakan kesepian yang menyakitkan. Aku mencoba menenangkannya. Dengan berlagak agak sok tahu, aku bilang padanya bahwa konsekuensi yang diterima sebagai orang kedua memang selalu tidak enak. Aku kemudian mencoba memberinya usul, kalau memang ia ingin lepas dari kesepian dalam penjara kemewahan itu, ia harus meninggalkan vila dan semua kenangan bersama sang kekasih yang sejak mula sudah ia ketahui telah menjadi milik orang lain itu.
“Aku mencintainya dan katanya dia juga mencintaiku.”
“Oh, kalau begitu, lain soal. Ini masalah perasaan. Aku tidak bisa mengusulkan sesuatu yang bisa menjadi solusi.”
Aku kemudian diam, ia kemudian bercerita lagi bahwa taman labirin ini adalah salah satu bentuk realisasi rasa cinta sang kekasih kepadanya. Kekasihnya membuat taman labirin itu karena memang perempuan ini mengimpikan taman semacam itu semenjak ia kecil. Di taman itulah katanya mereka menghabiskan banyak waktu jika sang kekasih datang.
Ia terus menumpahkan segala macam rasa kesepiannya kepadaku. Aku berusaha menjadi pendengar yang baik. Sementara itu, sinar matahari mulai bisa menembus masuk ke dalam taman labirin. Aku kemudian mempertimbangkan untuk pamit pada perempuan itu sebab dalam pikiranku, inilah saat terbaik untuk mengambil foto para gadis pemetik teh. Setelah kukatakan itu, ia tidak mengijikan aku pergi. Ia malah memohon padaku untuk di sana dulu beberapa saat.
“Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu” katanya kemudian, sambil menarik tanganku, mengajakku menuju ke bagian dalam taman labirin itu. Aku pun menurut saja ke mana ia membawaku. Kami terus berlari masuk dan masuk. Membelok ke kiri, ke kanan, menemukan jalan buntu, kembali lagi ke arah semula, mencari jalan lagi, berjalan terus masuk, keluar, masuk, keluar, jalan buntu, kembali lagi, jalan lagi.
Katanya, ia sekedar ingin menunjukkan apa yang selama ini sering ia lakukan bersama sang kekasih. Untuk menenangkan nafasnya yang sudah satu-satu, ia mengajakku duduk pada sebuah bangku batu. Di tengah diam kami yang tiba-tiba, aku menagih janjinya, “Boleh saya pamit sekarang?”. Bukannya mengiyakan, ia malah tertawa dan dengan santainya berkata, “Aku tak tahu jalan keluar.” Aku panik, dia malah menarikku, memelukku, membawaku bergulung-gulung di atas rumput permadani yang ada dalam taman labirin itu.
*****
DENGAN wajah yang dihiasi senyuman penuh kebahagiaan, ia berdiri di balik pagar untuk melepas kepergianku. Kami baru saja menemukan jalan keluar dari taman labirin itu ketika matahari sudah condong ke barat. Aku segera meninggalkannya, meninggalkan vila itu, meninggalkan taman labirin, meninggalkan sebuah peristiwa, menuju ke kebun teh untuk mengambil foto para gadis yang tengah memetik teh dalam lanskap senja.
Semakin menjauh dari vila itu, justru kudengar denting shamisen cantik yang makin mendekatiku. Mendadak, aku kembali teringat Kiyoko di Kyoto.
Jogja 2007 – Tarakan 2008
A PLACE OF HARMONY
|
| |
| Hold me when your feeling sad |