Ini adalah kisah tentang kehidupan kecil di tanah kelahiranku, Sragen. Aku tidak lahir di Sukowati yang hingar bingar dan sekarang terus berdandan elok karena terus-terusan disibukkan oleh bondong-bondong orang daerah yang sumringah mengutang sepeda motor meski yang dimiliki hanya sekarung gabah. Mangir adalah nama kampung yang melahirkanku, di sebuah kecamatan bernama Sambirejo yang sawahnya mulai menipis karena banyak berdiri rumah-rumah sok bergaya minimalis, pemiliknya kebanyakan tukang sayur di Jakarta, ajun rumah tangga di Malaysia, atau keluarga kecil yang kabarnya berpendidikan dan paling suka nonton acara tv omong-omongnya Mario Teguh. Kalau kau kesulitan membayangkan betapa udiknya tanah kelahiranku, pakai saja kelakar yang sering dilontarkan tentang sebuah daerah sebuah nama yang tak kau kenal, “kayaknya nggak ada di peta..”
Mangir bukan merujuk pada sejenis tumbuhan yang sering dipakai iming-iming pemutih kulit punya kaum penebar hiperealitas yang sering kau lihat meski orang-orangku tidak selegam nasibnya karena lebih banyak yang ranum bak kembang desa dan kemudian jadi menor, kisut dan gendut minta ampun setelah dinikah anak kepala desa, entah siri atau dimadu tak jauh beda. Nama Mangir diambil dari Mbah Kyai Mangir yang waktu aku kecil masih kulihat watu bucu sebagai personifikasi kebesaran namanya. Sekarang tempatnya digantikan sebuah mushola kecil. Mushola itu akhir-akhir ini makin cantik dan ramai saja semenjak datang seorang dokter yang kesohor dan membuka praktek di kampungku, untukku ini membahagiakan. Sang dokter sesekali berkunjung tetapi lebih sering disambangi rumahnya, kabarnya penyambang matur dokter agar bangunan pengganti watu bucu syirik itu lebih banyak lagi disumbangi, kebanyakan berhasil. Apa ini salah satu alasannya kenapa manusia berjas putih itu lebih suka bersaing pamor di kota yang glamour, aku tidak tahu.
Waktu kecil aku punya banyak teman main yang rajin shalat lima waktu dan mengajakku ikut puasa meski aku hanya menyanggupi ikut sahur saja kemudian tidur lagi, ada juga kawan kecilku yang rajin nyolong aggur putih jualan warung bapaknya setiap kali cinta monyetnya benar-benar membuat dia berasa dianggap sebagai perimata itu. Kami senang-senang saja bergabung dengan orang-orang tua lelaki dan menjemput ingkung ayam dari kuburan yang mereka bawa pulang lagi setelah sadranan usai dan padi selesai dituai. Berebut recehan dan sebatang rokok dari sajenan yang ditempatkan di pojok-pojok tempat keramat sebelum acara mantu digelar adalah agenda rutin kami. Pun waktu mengiring orang mati ke kubur, kami anak-anak kecil menggiring di depan karena penabur kembang beserta uang receh berada paling depan, tidak ada yang melarang karena kau anak sekolah minggu atau karena kau murid TPA (kata ibuku singkatan dari Taman Pendidikan Al Quran).
Namun kini kedaannya sudah berbeda - aku tidak mau menyebutnya ‘sangat berbeda’ karena terkesan hiperbolis disamping tulisan ini jelas sama sekali tidak romantis. Kau tahu mazhab apa yang sekarang merajalela di daerahku? Ini dia:
“Kalau kau pria dan jakunmu mulai seperti ayam jantan aduan maka kau harus kemana-mana dengan sepeda motor tanpa spion, tanpa helm, knalpotmu harus berisik, dan tentu saja harus bisa sedikit jumping seperti rossi gadungan. Kalau kau perempuan yang mulai menstruasi dan buah dadamu sebesar bola bekel, maka kau harus ke salon paling baru yang karyawatinya paling sering diapeli pegawai rendahan di kantor bupati, lalu rebonding bagi yang keriting dan smoothing bagi yang non keriting, aturan ini berlaku ketat entah wajahmu tirus, oval, atau mencong ke samping, entah kulitmu geseng atau kuning. Dan tentu saja, kalian pria atau perempuan harus punya account facebook dan hape qwerty (buatan china boleh, karena belum banyak yang punya bb selain anak dokter tadi, beberapa anak juragan bahan bangunan dan pemilik usaha penggilingan padi.”
Sekarang-sekarang ini kalau kau tahu, di daerahku adalah musim kawin. Pada musim ini kau akan kesulitan bahkan hanya untuk menemui seorang tukang pijet yang biasanya sepi karena orang lebih suka minum obat yang ditawarkan televisi, jadi bayangkan kalau pada musim ini kau sakit dan membutuhkan segera dokter yang masih jarang di kampungku, alamat hanya bisa mengutuki sakit yang tak tahu adat, tapi hal ini tidak berlaku bagi peminta sumbangan tadi karena dia sudah berpengalaman tentang petung jawa meskipun sekarang malu-malu menggunakannya. Aku tidak tahu mengapa banyak orang sekarang malu menyebut Mbah Kyai Mangir, watu bucu, ato sesajen lagi, bahkan pada musim kawin seperti sekarang ini.
Aku tidak tahu persisnya apa karena aku hanya mampu sedikit membaca tanda. Aku membaca makin banyak tetanggaku memelihara jenggotnya dan celana panjangnya seperti kekecilan, teman-teman sekolah mingguku yang dulu memilih nangis bawang kalau disuruh maju berdoa sekarang lebih suka loncat-loncat di toko roti lantai dua yang disulap menjadi tempat ibadah karena Kidung Pasamuwan Kristen tidak termasuk kategori barang yang dijulukinya ‘gaul’. Sesrawungan kini dikeluarkan dari kosakata bahasa ibu, meskipun hanya sekedar mengobrol kosong di teras rumah Pak RT tentang sawah, tetangga yang kabarnya kumpul kebo, anak-anak yang merantau ke Jakarta sebagai karyawan pabrik boneka barbie, atau iseng-iseng bermain remi di prapatan dengan sedikit penerangan lampu yang setrumnya nyolong PLN, semuanya itu sekarang tidak lebih menarik daripada sinetron di televisi. Aku ingat dulu pernah ada pentas agustusan dengan menggelar panggung hiburan yang diisi nyanyi, tari, atau drama kisah percintaan yang diselingi banyolan , manggungnya di samping watu bucu, tetapi itu waktu aku SD, dulu.
Tentang musim kawin di tanah kelahiranku sejarahnya sudah setua watu bucu, tapi kau tidak akan menemuinya di buku. Karena sepanjang apapun jenggotmu, sesering apapun kau rebonding, atau segaul apapun motormu karena menjiplak modifikasi dari tabloid otomotif terbaru, musim kawin tidak kehilangan pamornya. Lalu kenapa bulan-bulan ini aku sebut musim kawin? Untukku alasannya sederhana karena mungkin aku belum mendapatkan kedalamannya, tetapi setahuku musim kawin berlangsung karena padi telah dikarungi dan semuanya baik dalam petungan sasi. Untukku ini bukan sekedar klenik yang syirik, aku lebih senang melihatnya sebagai cara lelaki-lelaki tua jawa untuk menyesuaikan kelanjutan jalan hidup anak cucunya setelah mendapat keberkahan dari rahim Ibunda Bumi, setelah mengantongi restu Kanjeng Ratu Dewi Sri, dan tentu saja setelah lumbungnya penuh terisi dan asam lambung anak istri dijamin tak naik lagi. Kalau sudah begini, siapapun harus tahu, “sekarang berpesta esok makin papa” bukanlah bagian dari sejarah nenek moyangku, paling tidak terlalu naif bahkan hanya untuk sekedar ditiru.
Meskipun sekarang watu bucu tak berbentuk lagi dan sejumput kemenyan beserta ubo rampenya dalam besek-besek kecil sesaji mulai dilirik dengan pandangan benci, musim kawin tetaplah musim kawin, restu bumi tetap wigati dalam setiap tubuh mereka, manusia-manusia pembajak sawah dan pembendung kali. Musim kawin bukanlah dan semoga tidak akan pernah menjadi monopoli kaum berjubah apapun warnanya, yang entah mengapa melupakan karung goni saat nenek moyangnya dikerubung kompeni maupun si kecil kejam dari negeri matahari. Untukku, oknum dalam kaum itu pantas disingkirkan atau ancam saja buang ke laut, karena tanpa jubah dan kegemarannya menebar rasa bersalah, nyali mereka sejatinya ciut. Kalau aku boleh ikut serta membuang mereka ke laut, aku akan melakukannya dengan senang hati, meskipun laut tak akan senang, karena laut biasanya mendapat sesuatu yang terpilih dengan berlebih, tapi setidaknya laut setuju kaumku manut untuk menggelar musim kawin dengan patut, sejak dulu tanah dan laut saling belajar saling berguru, dan biarlah tetap begitu..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar