Sebuah rumah tampak berdiri kokoh, bangunannya lawas jaman kolonial. Di sampingnya berderet namun tak teratur beberapa rumah lain, sebagian besar bangunan tahun 80an, bentuknya begitu berbeda dari rumah lawas itu, tapi sama kokohnya, paling tidak penampakannya. Rumah lawas itu cukup besar, banyak tamu bermobil, namun halamannya sempit, bahkan untuk parkir dua mobil saja tak cukup, terpaksa parkir di jalan, menyulitkan tetangga yang lalu lalang mengayuh sepedanya ke tempat kerja. Sepertinya ke tempat kerja, toh tak penting juga.
Seperti kukatakan tadi, rumah itu cukup besar, dari pintu rumah yang tidak sempurna tertutup, sayup-sayup terdengar suara penghuninya, beberapa bernyanyi yang lain bertutur diselingi gelak tawa, berdengung suara piring beradu garpu dan pisau daging, semarak, beberapa panji tampak sedang dipasang, tampaknya ada pesta, masakan pesta setiap hari, tak tahulah, kita amati saja.
Mungkin bukan sebuah pesta, tetapi aku menemukan selembar kertas kumal yang bertuliskan, “Menu ekumenis bulan ini,” di dalamnya terdapat pilihan menu:
Tarian Kemiskinan India
Drama Feminisme Korea
Film Heroisme Pasukan Perang Hollywood
Dongeng Romantisme Masa Kecil
Tarian Pemanis Daerah
Yang menarik, dalam setiap sudut kertas tersebut diberi label bendera dengan tulisan oikumene.. hmm, apa maksudnya ini?
Ketika mereka tengah berpesta, dari luar terdengar seperti suara gelegar, riuh dan penuh dengan gaduh, ada apa ini? rupanya ada peringatan 100 hari wafatnya Gus Dur, orang-orang dari segala penjuru berjalan damai dan tak berniat berjalan mundur. Juga ada ribut-ribut soal mbah Priok, lalu Susno yang kabarnya ditahan lagi tanpa gembar-gembor media. Mula-mula penghuni rumah itu menghentikan pestanya lalu mengintip hati-hati, melihat suasana dari dalam, ketakutan, lalu menutup erat-erat dan mengunci pintu, dan melanjutkan pesta.
Diam-diam penghuni tersebut telah mengidap semacam amnesia sejarah yang parah, seolah-olah kita hidup dalam sebuah rumah rindang di musim kering berkepanjangan. Penyejuk ruangannya panji-panji kita sendiri, tegak angkuh berdiri di sebelah tumpukan kardus berdebu dan bertali pati yang berisi spanduk-spanduk kusam bertuliskan “demi bhineka tunggal ika, hentikan kekerasan atas nama agama”, yang entah kenapa, batal terpasang di halaman rumah kita, mungkin waktu itu bambu habis terpakai, panji kita begitu banyak.
Panji-panji kita begitu memukau, menari genit elok gemulai, mencandu, membuat kita tak berhenti mendongak dengan mulut menganga menyanjung warna-warninya yang memeriahkan seisi rumah kita. Kita lupa, lupa sudah pagi, lupa membuka jendela, jendela yang menghantarkan kita pada realita. Bahkan, jikapun ternyata diputuskan tarian genit elok gemulai harus dihentikan, termasuk tarian panji-panji kita, mungkin tetangga sebelah akan bersuara “tak setuju”, atau bahkan “mengancam pindah.” Tetapi untuk apa digubris! Karena kita akan segera saling berbisik, “ah, tak mengapa, toh kita tinggal menutup jendela saja..!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar