Senin, 23 Agustus 2010

BULAN BUNDAR ITU

Dalam bayang senyum rekah bulan bundar itu,
Mewajahlah keceriaan kecil masa lalu
Tanpa malu anak manusia tertawa, berkejaran, dan mencipta deru
Lalu bersembunyi di belakang punggung lebar ibu, yang lalu membelai ikal rambutmu

Bulan bundar itu,
Membisikkan kepada kita mimpi-mimpi dalam waktu batu
“impian adalah jiwaku”, bisik sang bulan merdu, aku mulai tahu
Dari itu, kaki-kaki kecil kitapun mencoba menapakinya, meski ragu meski penuh liku

Bulan bundar itu,
Adalah saksi yang tak bisu, menuntun malam kelam menjadi pemakna laku
Penuh kegairahan kita belajar mencinta, menari, dan menjelajahi waktu
Meresapi kegembiraan yang seringkali bertautan dengan senyum haru

Bulan bundar itu,
Terus tersenyum pada kita, setiap peziarah, tanpa ragu
Pernah satu kali masa ini, aku berbisik padanya,”aku kosong, aku letih, rindu menjadi anak kecil, seperti masa itu”
Namun bisiknya tak lagi kudengar, “aku tidak sedang meminta senyumanmu!”

Bulan bundar itu,
Mungkin kini tak banyak lagi anak manusia yang memuja hadirmu
Listrik sialan dan televisi penjual hiperealitas kaum kapitalis itu kini menjadi ratu kaumku
Tawa anak-anak bukan lagi dalam kejar-engah di bawah bayangmu, kau hanya bisa menjumpai mereka dalam dinding dingin dan layar beku
Aku tahu, kau pasti melarangku membenci kaumku, “sudah terlanjur!” umpatku

Bulan bundar itu,
Malam ini aku melihatmu lagi, begitu kecil kini, namun tetap ayu
Terimakasihku untukmu, untuk mimpi dalam letupan hidupku
Saat aku merasa tak berpunya, tak berdaya, aku tahu, aku memilikimu,
Senyummu dan mimpi-mimpi itu, sudah cukup untukku..


Jogjakarta, 26 April 2010
19. 27

Tidak ada komentar: