Senin, 18 Mei 2009

JOGJA & PERILAKU BERKENDARA
Beberapa tahun belakangan ini saya melihat perubahan yang signifikan dari cara berkendara masyarakat di perkotaan, tidak terkecuali di Jogja, dan karena itu saya tertarik untuk melihat fenomena berkendara masyarakat Jogja saat ini. Saya mulai dengan iseng mengingat dulu (mungkin katakanlah 4 tahun yang lalu) tatkala pertama kali menginjakkan kaki untuk tinggal di Jogja, urusan studi tentunya, kendaraan bermotor yang paling banyak dipakai adalah motor, cukup mendominasi jalanan, dan masih berlanjut sampai sekarang.

Sebagai mahasiswa, sarana transportasi yang lazim digunakan juga adalah sepeda motor , baik itu untuk urusan kampus ataupun urusan kongkow-kongkow bersama teman (saya sendiri sampai sekarang enjoy dengn jalan kaki dan naik kendaraan umum kalau jauh, kalau dulu masih banyak sepeda onthel-dikampus saya Duta Wacana masih ada beberapa yang setia memakai sepeda onthel, khususnya temen-temen fakultas teologi, salut sobb!). Walaupun motor mendominasi, tetapi jalanan masih relatif tertib, tidak banyak klakson tanda tidak sabaran dibunyikan setelah lampu hijau menyala-kalaupun ada bunyinya kecil dan pendek saja-bukan klakson memanjang yang menandakan kekesalan berlama-lama di lampu merah, pemakai jalan yang lain khususnya pejalan kaki yang hendak menyeberang atau pengendara onthel juga dihormati-ditunggu dengan sabar supaya lewat duluan, atau kalaupun menyalib dilakukan dengan sopan-bukan dengan memotong jalan.

Itu dulu, 4 tahun yang lalu. Sekarang??
Coba lihat jalanan kota sekitar Jogja dan amati bagaimana perilaku berkendara warga Jogja saat ini. Mungkin dan saya yakin anda akan sependapat dengan saya (atau mungkin anda salah satunya?), bahwa cerminan sikap santun dan menghargai 'liyan' yang ditunjukkan ketika berkendara dari masyarakat Jogja telah luntur, tidak lagi tercermin.
Lihat saja bagaimana perilaku warga yang berkendara ketika berada dilampu merah. Garis batas lampu merah dan area menyeberang sudah dirampas dengan pengendara motor yang berjejal dan tidak sabar ingin segera menggeber kendaraannya , tidak peduli apakah ada sesama pengguna jalan-penyeberang jalan yang juga ingin memakai fasilitas jalan-walaupun hanya sekedar menyeberang (mungkin kebanyakan nonton moto gp atau balap motor lokal dan berniat mempraktekkannya dijalan raya, sinting!!).

Bukan cuma itu, ketika lampu merah berganti hijau, kendaraan yang berada dibelakang dengan tidak sabaran membunyikan klaksonnya, berharap dengan klakson yang dibunyikan keras-keras situasi teratur dan lancar langsung 'sim salabim' dapat tercipta! Tidak hanya itu' kalau kita perhatikan' pengendara motor yang ugal-ugalanpun di Jogja kian banyak bertambah, dan menjadi sok jago jalanan (dasar amatiran!!)
Saya kesal, dan memang banyak pelakunya adalah pengguna motor, karena memang mayoritas pengguna jalan di Jogja adalah pengendara motor (walaupun tidak menutup kmungkinan pengguna mobil, namun porsi ugal-ugalannya masih relatif sangat kecil-paling tidak menurut saya). Melihat Jogja dan cermin berkendaranya kini, mengingatkan saya kepada Jakarta yang memang dari dulu perilaku pemakai jalannya sudah parah, egois, dan tidak sabaran, tapi haruskah kita menjadi seperti Jakarta? Haruskah kita menciptakan iklim berkendara yang egois, beringas, dan seenaknya? dan nyamankah kita, tatkala menemui hampir ditiap jalan masuk kompleks atau jalan kampung di Jogja, ditiap jarak 200 meternya-dan sangat mungkin akan terus bertambah-terpasang polisi tidur yang menghambat perjalanan kita, hanya karena perilaku berkendara kita yang tak manusiawi? Kalau kita mengaku orang beradab mestinya mengatakan tidak, kalau kita merasa kita masyarakat dewasa harusnya berperilaku santun, sopan, dan menghormati pengguna jalan yang lain. Kalau kita mengaku mencintai Jogja, seharusnya kita menciptakan situasi nyaman termasuk saat berkendara.

Pertanyaannya adalah, kemana harmoni berkendara yang santun di Jogja itu? Hilang tergerus jaman? kita kalah dengan arus jaman? mungkin hati kecil kita berkata 'masih ada, tapi diabaikan'...

Tidak ada komentar: